Time

Sabtu, 26 September 2015

Debu

Baca juga linknya di sini : http://www.jendelasastra.com/karya/prosa/debu



Akulah debu yang diberi mukjizat lebih oleh Tuhanku untuk menyusup ke segala celah, segala yang tampak atau ke segala yang tersembunyi. Akulah debu, yang bisa membuat segalanya hancur menjadi kacau. Kumasuki ruang terlarang saat aku berhasil menyusup angin yang berhembus pelan atau kencang. Tapi akulah debu, riwayat jelmaan terakhir dari segala kehidupan atau kematian yang pernah abadi. Akulah sisa terakhir dari ciptaan Tuhanku yang terabaikan yang selalu dipakai dalam segala kesucian. Akulah debu, yang selalu ada bersama seutuh nyawa atau separuh nyawa yang masih bernapas atau terputus napas. Akulah debu, yang selalu memperhatikan wajah-wajah segala rupa. Yang tidak akan pernah lenyap sedebu pun dari segala permukaan.
Akulah debu, yang beberapa hari yang lalu masih dapat menikmati jerit dan tawa kanak-kanak di sebuah gubuk yang berdiri kokoh, yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Akulah debu, yang kemarin itu diberi kesempatan bermain oleh tangan-tangan kecil mereka. Anak-anak itu  membentuk sebuah rumah dari pasir yang ada aku di dalamnya. Mereka membuat sebuah piringan dari daun kering yang juga ada aku di dalamnya. Mereka berlari, saling mengejar, bertangkap-tangkap, berlempar-lempar lumpur kering yang ada aku di dalam semuanya. Akulah debu, yang mencoba menjaga perasaan mereka agar tidak tersakiti sebab aku, sekalipun ibu-ibu mereka akan datang dengan wajah cemas sebab melihat aku yang sudah penuh menempel di tubuh dan baju anak-anak mereka. Lalu ibu-ibu itu akan mengusirku, menyuruhku pergi. Padahal aku hanya ingin bermain, mencoba menyenangkan perasaan hati anak-anak mereka. Bukan malah menyakiti.
Akulah debu, yang tidak akan pernah asing dalam sepintas pemikiran pun. Yang sekalipun terabaikan, aku tidak akan pernah terlepas dari segala aktivitas. Akulah debu, yang beberapa siang yang lalu sempat singgah di ujung sepatu seorang ibu. Aku melihat perempuan itu bersama seorang anaknya berbelanja di sebuah mini market. Akulah debu, yang melihat anak itu menangis sebab menginginkan sepotong cokelat yang tersusun rapi di sebuah rak jajanan. Anak itu terus memaksa dan merengek pada ibunya agar dibelikan satu hingga membuat ibunya kesal lalu mencubit pantat anaknya hingga biram. Akulah debu, yang mengetahui bila perempuan itu tidak akan pernah mengizinkan bila anaknya harus mencicipi sepotong cokelat pun. Akulah debu, yang sejatinya tidak tega melihat anaknya menangis sampai dadanya berguncang-guncang. Aku tahu bila sesungguhnya perempuan itu masih membutuhkan beberapa belanjaan yang banyak. Sebab anaknya terus menangis, dia lebih memilih mempercepat waktunya untuk pulang. Akulah debu, yang ditatap sinis oleh perempuan itu di ujung sepatunya, lalu aku disingkirkan dengan ujung keempat jarinya hingga aku terbaur dengan angin yang berhembus pelan. Akulah debu, yang masih dapat melihat anak itu menahan tangis yang ingin terus berguncah berjalan di samping ibunya.
Akulah debu, yang sempat ikut berpartisipasi bersama beribu mahasiswa di depan gedung DPR. Mereka memegang spanduk dan papan-papan pemberontakan. Akulah debu, yang juga akan ikut bergerak kencang disaat sekelilingku merasakan perasaan yang menggebu-gebu. Aku juga ikut berteriak saat beribu mahasiswa itu berteriak agar harga BBM diturunkan, bukan malah harus dinaikkan! Akulah debu, yang tanpa mereka sadari berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh mereka lewat lobang mulut, lobang hidung, dan lobang mata mereka yang bercelah. Maka di dalam tubuh mereka aku semakin membakar perasaan, agar mereka terus menjerit dan berteriak. Aku mengintip dari dalam lensa mata gemuruh yang membahana di depan gedung DPR. Aku juga melihat beribu polisi dengan beribu tameng mereka untuk menentramkan beribu demon dari beribu mahasiswa.
Akulah debu, yang tidak terhiraukan dan tidak mungkin dapat dihentikan dalam aksi membosankan ini. Akulah debu, yang tidak sengaja melihat seorang pemuda yang disikut, dihajar, dilibas oleh beberapa polisi yang sudah habis kesabarannya untuk menenangkan mereka. Kudengar bisik-bisik mereka bila pemuda itu mencoba masuk ke dalam gedung dan mencoba menghancurkan gerbang besi yang berdiri kokoh bersama sekawanannya. Akulah juga sebagai saksi sejarah setiap tahun ini yang selalu dituliskan dalam beribu artikel anak Indonesia atau setumpuk naskah yang akan disiarkan dalam siaran berita televisi atau radio. Akulah debu, yang tiba-tiba melihat beribu kawanan demonstrasi ini ikut menyerang, menyerbu, membela teman mereka yang dihajar oleh polisi.
Akulah debu, yang tiba-tiba membenci aksi ini, yang tidak tahu lagi entah siapa yang harus aku bela di antara dua pihak. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat mengerikan bila aku sudah marah sebab benci. Kemudian kupanggil angin agar bertiup kencang. Aku berbaur dengan angin dan memerintahkan angin agar menghembuskanku ke mata dan hidung mereka dengan kejam, agar mereka benar-benar berhenti dan diam. Akulah debu, yang merasa cukup puas ketika mereka mencoba lari menyelamatkan diri dari amarahku.
Akulah debu, yang tiba-tiba angin membawaku pada suatu ruangan pengadilan yang penuh di dalamnya orang-orang. Aku melihat seorang hakim duduk dengan wibawa sebab pakaian toga kebesaran yang dikenakannya. Lalu aku meminta pada angin agar aku dibawa saja ke mulut microfon di depan hakim, biar aku dapat tahu dengan jelas apa yang tengah terjadi. Akulah debu, yang melihat di tengah ruangan seorang tersangka yang kabarnya akan divonis sekarang juga. Dalam diam akhirnya dapat kuperoleh informasi, bila tersangka telah mencabuli seorang anak gadis hingga hamil. Ada sirat risau saat kutatap bola mata tersangka yang gelisah itu.
Akulah debu, yang sesekali kulihat bola mata sang hakim di balik kaca matanya. Kulihat dia ingin marah besar sebab perlakuan zina. Kemudian kutatap satu persatu bola mata pada hadirin yang hadir dalam ruang pengadilan ini. Akulah debu, yang tidak asing lagi dengan kabar pencabulan atau asusila seperti ini. Akulah debu, yang hampir setiap malam menyaksikan gerakan pasangan muda mudi menikmati malam-malam terlarang mereka sampai subuh. Akulah debu, yang tiba-tiba membuat microfon menjadi mati saat hakim mencoba memutuskan vonis. Akulah debu, yang pada akhirnya membuat hakim sampai jengkel melihat aku yang menempel di mulut microfonnya, lalu hakim itu menghembusku sampai aku terjatuh dan terdengar suara gemuruh dari toak.
Akulah debu, yang pernah dibawa berkelana oleh angin pada sebuah telaga kecil, yang terdapat air tenang di dalamnya. Kulihat sepasang insan muda duduk di  sebuah pohon yang cukup rimbun. Aku melihat mereka duduk saling berjauhan dan saling membisu. Akulah debu, yang hampir tidak bisa membaca pikiran dan hati mereka sebab mereka terlalu membisu. Lalu kupilih menjatuhkan diriku ke atas paha sang gadis yang dilapisi oleh rok panjangnya hingga ke mata kakinya. Aku terkejut ketika melihat sang gadis menitikkan air matanya hingga terjatuh di atas pahanya yang membuat aku hampir basah oleh air mata. Kulihat sang lelaki ingin mendekati gadisnya, tapi sang gadis menyuruhnya untuk pergi dan tidak sudi bila dia disentuh olehnya.
Akulah debu, yang mendengar maaf beribu maaf dari sang lelaki untuk gadisnya. Dia menyesali semua perbuatannya. Entah perbuatan apa, aku tidak tahu. Aku mendengar sang gadis berkata sekali lagi agar lelaki itu pergi darinya, dan lelaki itu benar-benar pergi setelah menyatakan masih cinta pada gadisnya. Akulah debu, yang pada akhirnya basah oleh air mata sang gadis yang terus bercucuran. Sejatinya diriku tidak tega melihat air matanya terus berlinang. Kucoba untuk menghiburnya, tapi aku gagal. Air matanya semakin menderas sampai dadanya berguncah. Akulah debu, yang pada air matanya terjatuh dari pangkuannya sampai kepada air telaga. Akulah debu, yang bukan pada kemauanku pergi meninggalkannya, membiarkannya menangis seorang diri.
Akulah debu, yang apabila datang malam beranjak tua, maka aku panggil angin yang penuh persahabatan untuk membawa aku berkeliling menemui orang-orang yang telah aku temui sebelum matahari terbenam. Aku masuk ke dalam sebuah kamar lewat lobang ventilasi. Dari dalam kamar  dapat kurasakan betapa nikmatnya tidur si anak yang tadi siangnya pernah bermain bersamaku berlempar-lempar lumpur kering. Akulah debu, yang menatap wajahnya penuh sungguh. Wajah yang begitu arif, terkesan tenang, lelah, dan menyenangkan. Pelan-pelan aku masuk ke dalam kamar ibunya. Akulah debu, yang dapat melihat wajah yang terlelap tidur. Akulah debu, yang dapat menilai wajah itu yang jauh sangat berbeda saat wajah itu menatap cemas padaku saat aku ikut bermain dengan anaknya. Wajah itu sungguh sangat tenang.
Akulah debu, yang kemudian dengan ketenanganku beralih ke rumah seorang anak yang pernah meminta sepotong cokelat kepada ibunya. Aku masih menaruh rasa iba kepada wajahnya yang terlelap tenang. Lalu kupanggil angin agar aku dibawa kepada seorang ibu yang mencubit pantat anaknya yang tengah terbaring di sebuah bilik yang teduh. Akulah debu, yang pada wajah perempuan itu dapat melihat ketenangan yang sama.
Akulah debu, yang masih ingin bermain dari subuh ke subuh. Mencoba berhembus sendiri masuk ke dalam kamar beribu mahasiswa, beribu polisi, seorang hakim, seorang tersangka, dan sepasang kekasih. Akulah debu, yang tanpa sepengetahuan mereka asyik menatap wajah lelah mereka yang tenang. Akulah debu, yang lebih mencintai ketenangan ini dari pada huru hara, hingga aku selalu mengajak angin agar berhembus sepoi biar pemilik-pemilik nyawa itu tertidur lelap dan sangat tenang. Akulah debu, yang dapat menilai wajah-wajah mereka lewat aura mereka disaat mereka tertidur. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat tahu, bila insan yang bernyawa itu sesungguhnya sangat arif. Dapat aku nilai dari garis wajah mereka disaat mereka tertidur pula. Akulah debu, yang sangat mengetahui titik kelemahan insan disaat mereka tersadar dan tertidur.
Akulah debu, yang sebelum malam menjelma menjadi subuh akan pergi berlalu dari kamar-kamar tidur mereka. Akulah debu, yang tidak akan pernah luput dari gerak mereka, yang selalu ada untuk bersama mereka sekalipun mereka tidak membutuhkanku.
Akulah debu, yang selalu merindu subuh hingga subuh kembali.

Kamar Gadis, 01 Agustus 2012




Mopi



 Aku menemukan Mopi saat dia setengah hidup dan setengah mati di pinggir rel dekat gerbong kereta. Bulunya habis dan kulitnya hampir terlihat. Banyak kudis dan luka-luka kecil menempel di tubuhnya. Lidahnya menjulur sedikit. Matanya sudah tidak sanggup untuk terbuka. Badannya kurus dan kumal. Tak ada yang memperhatikan, lantaran di daerah situ memang tidak banyak orang lewat. Aku yang melihatnya merasa iba. Lalu aku mendekatinya. Saat kuangkat tubuhnya dengan menggunakan sarung tangan dan memasukkannya ke dalam kotak, kudengar suara aingnya yang sangat pilu.
Mopi kubawa pulang ke rumah. Dia aku rawat sampai benar-benar sehat. Beberapa kali aku membawanya ke dokter hewan. Aku bersyukur ketika keadaannya cukup membaik. Saat aku temukan Mopi, dia masih berusia enam bulan.
Tapi aku tidak pernah menganggap Mopi sebagai anakku. Dia aku jadikan sahabat dalam keseharianku. Tingkahnya cukup lucu. Tapi aku tidak suka bila Mopi mencoba untuk bermanja padaku saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Bila dia mendekat ruang kerjaku, maka aku akan menyuruhnya untuk keluar dan pergi tidur.
Dalam beberapa hari Mopi belum paham dengan perintah-perintah seriusku. Dia masih saja mencoba untuk medekati ruang kerjaku dan duduk di sampingku. Aku tidak suka ada seorang pun yang mencoba untuk menemani kesibukanku, apa lagi binatang seperti dia, sekalipun dia hanya duduk dengan tenang di dekatku.
Pernah suatu ketika, Mopi mengulang kesalahan yang sama. Dia datang menemuiku di dalam ruang kerjaku yang tak berpintu. Dia menyalak dengan kuat. Seakan menyuruhku untuk keluar dan bermain dengannya. Disaat itu pula emosiku naik. Tanpa perduli siapa yang telah mengganggu keseriusan kerjaku, aku langsung mengambil asbak rokok dan melemparkannya ke kepala Mopi sampai asbaknya pecah dan kepalanya berdarah.
Mopi mengaing pelan. Kesakitan. Bebanku semakin bertambah. Aku tidak mungkin membiarkan kepalanya yang telah bocor karena perbuatan kasarku. Lalu aku meninggalkan pekerjaanku untuk beberapa menit. Aku mengajak Mopi ke belakang. Di dalam lemari dapur aku mengambil kotak obat. Aku membersihkan darah Mopi dan memberinya alkohol pada lukanya. Aku memperban. Setelah itu kuajak Mopi ke ranjang tidur yang telah aku siapkan untuknya. Aku menyuruhnya untuk tidur di situ dan mengatakan padanya agar  tidak mengganggu kerjaku lagi.
Aku pikir Mopi paham maksudku. Setelah dia cukup tenang, aku meninggalkannya dan kembali lagi ke ruang kerja. Dan kuharap Mopi tidak datang lagi padaku. Apa yang kulakukan di dalam ruang kerjaku sampai aku tidak ingin diganggu oleh siapa pun? Aku seorang penulis lepas. Saat mengetik dan menuangkan ide-ide tulisanku, aku tidak ingin ada yang menggangguku. Konsentrasiku akan buyar, dan aku akan benar-benar sangat marah.
Mopi tidak menyalak atau mengaing saat aku kembali kerja. Suasana cukup sepi. Saat aku benar-benar lelah dan ingin istirahat, aku menunda tulisanku yang belum siap. Aku ingin keluar dan mencoba relex. Aku terkejut, saat aku akan keluar dari pintu yang tak berdaun, kutemukan Mopi sedang duduk sambil bertidur malas di sisi pintu. Melihat kedatanganku, dia langsung berdiri dan mengendus-endus kakiku. Tubuhnya yang masih kecil mengelilingi tubuhku. Sepertinya dia lupa dengan sakit yang ada di kepalanya dan ingin sekali mengajak aku untuk bermain.
Oh, Mopi. Aku tidak tega membiarkannya berharap sampai berlarut. Apa lagi aku telah menyakitinya dan dia masih tetap menunggu aku. Lalu aku ajak dia keluar rumah. Aku bawa dia pergi berjalan-jalan ke pasar dan beberapa toko. Beberapa orang yang telah mengenal Mopi tidak jarang menyapanya. Mopi hanya bisa membalas dengan aingannya yang kecil. Ekornya yang kecil dan panjang tidak berhenti bergoyang. Itu pertanda bahwa dia sangat senang sekali aku ajak bermain. Sebab bila dia lagi murung atau sedih, ekor itu tidak akan pernah bergoyang sama sekali, dan Mopi akan selalu jalan dengan agak menunduk.
Sejak kejadian itu, Mopi paham akan ketidaksukaanku bila aku sedang berada di dalam ruang kerja. Dia selalu aku suruh untuk tidur saja bila aku memulai aktivitas sibukku. Awalnya Mopi nurut aku ajak masuk ke dalam ranjang kecilnya. Namun, setiap kali aku akan keluar dari ruang kerjaku untuk merilekskan pikiranku, aku akan selalu menemukan Mopi duduk sambil bertidur malas di tepi pintu yang tidak berdaun. Setiap kali melihat kedatanganku, dia akan bangun dan ekor kecilnya akan bergoyang-goyang. Mulutnya lalu mengendus-endus kakiku.

*****

Mopi sudah besar. Sudah tiga tahun dia hidup bersamaku. Kondisinya jauh sangat sehat dibanding pertama kali aku menemukannya di dekat gerbong. Dia manja dan sangat ingin sekali selalu aku perhatikan. Tapi dia tidak bisa memaksaku saat aku sedang sibuk. Mopi akan tampak iri bila aku sedang bermain dengan anakku yang baru berusia delapan bulan. Mopi akan pergi menjauh. Dia bersembunyi di dalam ranjang tidurnya yang telah aku buat lebih besar sesuai ukuran besar tubuhnya saat ini. Dari celah-celah ranjang itu mata Mopi mengintip aku dan pangeran kecilku.
Aku masih tetap berlaku adil antara istriku, anakku, dan Mopi. Bila aku ingin istirahat dari selepas kerjaku di dalam ruang kerja, aku akan selalu mengajak Mopi untuk pergi jalan-jalan. Ya, masih seperti dulu. Sekalipun Mopi sudah menjadi bagian dari keluargaku, aku tetap menganggap Mopi sebagai sahabatku yang sangat setia. Kepatuhannya itu membuat aku sangat sayang padanya.
Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Kami berpisah seumur hidup sebab keemosianku yang tidak pernah terkontrol sejak aku tahu kedua orang tuaku cerai.
Aku mengajak pangeran kecilku bermain di halaman rumah. Aku menghadiahkannya mobil-mobilan yang bisa digerakkan dengan sekali dorong tanpa remot. Saat itu Mopi sedang memperhatikan kami dari jarak jauh. Lalu istriku dari dalam dapur berteriak memanggil namaku. Dia membutuhkan pertolonganku untuk membetulkan sesuatu. Aku meminta Mopi untuk menjaga pangeran kecilku. Mopi hanya mengibas-ngibas ekor panjang berbulu lebatnya saja saat mengiyakan perintahku.
Sepuluh menit dari dalam dapur, aku mendengar anakku menangis histeris. Aku dan istriku sama-sama terkejut. Lalu kami berlari dan keluar dari dapur. Saat aku menemukan anakku, aku melihat darah berlumur di sekitar tubuh anakku. Mopi ada di samping pangeranku dan mulutnya juga tengah berlumur darah. Tanpa berpikir apa sebenarnya yang telah terjadi, aku langsung mengambil sapu gagang yang ada di dekat pintu. Yang ada dalam otak kotorku, bahwa Mopi telah menggigit anakku sampai berdarah. Aku melibas Mopi dengan sapu itu dan menyuruhnya untuk pergi. Istriku menangis dan mencoba mengambil anakku. Tapi saat dilihatnya emosiku telah meledak dan bersikap sadis pada Mopi, dia malah meninggalkan anakku menangis dan menyuruhku agar menghentikan sikap brutalku pada Mopi.
Aku tidak perduli dan tetap memukul Mopi sampai dia benar-benar pergi. Mopi mengaing kuat dan melolong lalu pergi. Dia benar-benar sangat ketakutan. Setelah dia pergi, aku merasa cukup puas. Tapi tidak dengan istriku. Tatapannya bengis dan sangat membenciku. Dia lalu menggendong anak kami dan berkata,
“Sampai kapan kau berlaku kasar seperti itu? Semua orang akan mati termasuk aku dan anakmu bila kau tidak juga menghentikan emosimu yang tidak pernah terkontrol. Kau lihat! Anjingmu itu telah menyelamatkan anakmu dari gigitan ular itu!”
Lalu istriku masuk bersama anakku ke dalam rumah. Aku melihat seekor ular tidak berdaya di dekat kursi tempat aku duduk bersama pangeran kecilku tadi. Ular itu sudah mati dan masih berlumur darah. Aku syok! Persendianku langsung lemas. Aku seperti tidak memijak tanah bumi. Aku benar-benar terpukul dan rasanya ingin mati.
Menyesal.
Mopi tidak kembali sampai malam tiba. Aku pikir dia akan pulang sendiri setelah dia pikir bahwa semua akan baik-baik saja. Pukul sepuluh malam aku mencarinya di luar rumah. Aku tidak menemukan dia. Aku sudah bertanya pada tetangga dan tidak satu pun ada yang tahu Mopi pergi ke mana. Aku menangis. Benar-benar sangat menyesal. Ini adalah yang kedua kalinya aku telah menyakiti Mopi setelah aku membuat kepalanya berdarah. Mungkin bagi Mopi dia akan lebih nyaman hidup ketika dia masih tergeletak kaku di dekat gerbong kereta. Apalah artinya dia aku pungut bila kenyataan aku selalu membuatnya tersiksa dan sakit.
Istriku tidak perduli Mopi ada di mana. Satu minggu Mopi tidak pulang dan selama satu minggu pula istriku terlihat dingin dan seperti membenciku. Dia sangat malas ngobrol padaku. Tapi aku lebih tidak perduli lagi dan tetap mencari Mopi.
Aku pergi ketika pertama kali aku menemukan Mopi di dekat gerbong butut. Hati kecilku yang menggerakkan langkahku untuk pergi ke sana. Dugaanku benar. Aku melihat Mopi tengah tertidur malas di dekat gerbong yang sama. Stasiun agak ramai. Beberapa orang menunggu kereta datang untuk pergi. Aku menyeru nama Mopi. Mendengar suaraku, Mopi langsung bangkit dan menggonggong sekali. Dia melihat aku dan berusaha mengejar aku. Betapa tidak senangnya hatiku?
Tapi kesenangan itu hanya sesaat. Saat Mopi berlari, sebuah kereta datang dari arah selatan. Mopi berlari di atas rel yang kereta itu akan lewat di atasnya. Aku menjerit sekuat mungkin agar Mopi menghindar. Mopi tidak perduli dan terus menggonggong sambil mengejarku. Semua orang melihat kami dan merasakan cemas yang sama.
Satu hal yang tidak dapat dielakkan adalah kematian. Suara gonggongan Mopi menyatu dengan suara trompet kereta. Semua orang berteriak dan memekikkan kata ‘tidak’ dan ‘awas’. Aku yang lebih syok lagi ketika melihat Mopi terseret kereta. Tidak satu orang pun yang dapat mencegah. Suara teriakan hilang ketika kereta berhenti di dekat kantor statsiun. Aku berjalan gontai mendekati di mana tubuh Mopi berhenti terseret. Semua orang berlari dan mendahuluiku.
Pikiranku mati. Aku menyuruh beberapa orang agar menghindar dan memberi aku masuk di antara kerumunan. Sesampai di depan tubuh Mopi, aku berlutut. Orang-orang bingung melihat aku. Mopi berdarah. Beberapa anggota tubuhnya hilang. Aku menangis. Lalu kuambil Mopi. Orang-orang mulai berbisik. Betapa kejamnya aku, betapa tidak adilnya aku. Aku tidak tahu entah harus berkata apa. Aku seperti orang gila. Lalu kupeluk tubuh Mopi yang berdarah seerat-eratnya. Kemudian aku menjerit sekeras-kerasnya. Aku seperti anak kecil yang jatuh dari atas pohon. Beginikah cara aku membina persahabatan dari kesetiaan Mopi untukku?
Tidak!
Aku masih menjerit sekuat-kuatnya dan masih menangis sekeras-kerasnya.***

Kamar Gadis, 15-09-2012

Senin, 06 Juli 2015

Rindu


Tidak akan ada habis dalam cerita kita tentang ini. Tentang satu hati yang kita ketahui bersama. Pada musim rindu yang mencoba menyelimuti hati yang beku, lalu teduh. Ini adalah cinta titipan dari Illahi, memberikannya pada kita yang yakin akan hakikat cinta yang ada di hati kita sendiri. Kugenggam segala cerita, segala kisah yang mengatasnamakan kerinduan kita. Agar kita tetap utuh di dalamnya sebagai pemilik cinta dan kasih sayang.

Saat Nanti


Bila nanti kita sama-sama paham apa yang telah terjadi sebab salah dalam cerita kita, maka biar dia tetap terukir dalam indahnya kehidupan. Aku tidak membatasi ke alur mana cerita ini harus tertuju. Tapi aku hanya ingin kita sama-sama paham ke arah mana alur itu harus ditempatkan. Kita atur cerita, kita rangkai mimpi. Aku mencoba ada di tangan Pemilik cinta, agar kita selalu tergenggam pada keyakinan yang diridhoi. Tidak akan ada cela, sekalipun beberapa duka dan suka akan selalu kita lewati. Namun demi keyakinan itu pula, kita lewati segalanya dengan penuh kasih sayang. Tidak akan pernah habis antara doa dan keyakinan yang selalu aku pinta. Adakah semua ada batas yang menjadikan kita akan diam sebab bebearapa hal yang membuat hati merasa tersakiti? Sementara kita masih berjalan untuk tiba pada satu tujuan. Satu hal yang harus diketahui untuk semua keinginan cintaku, hatiku ini terlalu istimewa untuk dimiliki, maka jangan biarkan dia bermain dalam kedustaan, jangan biarkan dia tenggelam dalam ketidaksukaan yang membuatnya menjadi diam. Sebab hatiku hanya kujaga untukmu.

Alfa


 
 
Di mana ada batas waktu, di mana ada batas kemungkinan, di mana ada batas harapan ketika kita mencoba menyulam masa depan yang penuh kasih sayang. Kesalahan yang tidak pernah aku pahami seolah bagai kejutan yang benar-benar harus aku terima dari dirimu. Tapi yang telah terjadi, aku menerimamu apa adanya dan bagaimana adanya. Ketika cinta itu benar ada sebab niatan lillahi ta’ala untuk masuk ke dalam hidupmu dan hidupku, adalah usaha sabar yang bisa aku lakukan dengan kekuatan do’a-do’aku. Keyakinan hati ini terhadap cinta yang telah Allah titipkan untukku tidak akan pernah aku sia-siakan. Aku tidak melihat rupamu, hartamu, keluargamu, atau tahtamu. Aku memandang seberapa jauh hatimu mampu menyambut cintaku dalam relung qalbumu yang ada iman di dalamnya. Sebab aku tahu, di sanalah tempat terindah di mana Allah telah menyiapkan bahtera cinta kita. Maka aku peluk pula segala kesalahan yang pernah engkau perbuat sebelum kisah kita terukir agar aku mampu memohon ampunkannya pada Ilahi. Aku bermohon dalam segala munajat agar Tuhan tidak menghukum kita sebab dosa-dosa cinta. Lirih suaraku, desah napasku, dan derai air mataku, segalanya pengantar do’aku yang ada namamu di dalamnya. Aku hanya berharap satu, ridho!

Kau



Dirimu begitu manja. Menjadikanku ingin tetap menjaga hati dan perasaanmu. Aku mencoba belajar mengertikan semua maksud dan mencoba belajar untuk tetap sabar dan ikhlas atas segala apa yang telah engkau berikan untukku. Air mata yang tertahan itu begitu nikmat bila keluar dari perasaan yang begitu menyinta. Ini benar istimewa buat aku. Disaat engkau mencoba menyentuh perasaanku yang begitu lembutnya, hati itu akan benar merasakan betapa maha sucinya Tuhan yang mampu menjadikannya ada cinta dalam qalbu ini. Kita akan tetap utuh dalam satu niat yang kita tuju. Selama proses ikhtiar dan doa itu ada, maka selama itu pula tujuan kita terus melangkah menuju pada niat yang sakral akan kita temukan.

Dawai Cinta


 
 
Bila dawai itu bernyanyi lagi tentang cinta kita,
Maka kenanglah segala apa yang pernah kita ukir tentang cinta itu.
Di sini aku akan mendengar segala isi hati yang akan engkau tuang dalam bejana rindu.
Akan aku simpan satu cinta di hatiku tentangmu, tentang cintamu pula.
Aku tidak mungkin kuasa lari dari dekapmu,
Tidak pula kuasa menahan hatiku untukmu.
Akan ada masanya ketika kita benar-benar ingin menembus dalam semak rindu.
Kita akan datang pada tempat terindah,
Di mana di saat itu kita dapat saling melihat bola mata kita yang tetap menyimpan rapi kerinduan itu sendiri.
Biar kita masih tidak dapat meluapkan segala kerinduan, sebab kita masih belum utuh untuk memiliki.
Tapi segala kasih sayang yang kita miliki bersama tidak akan pernah membiarkan kita terus berlarut.
Dia pasti akan datang diwaktu yang sangat tepat,
Di mana kita bisa saling memeluk seikat cinta yang masih kita simpan dalam kantung hati.
Menjadikan mimpi kita benar kita peluk bersama dalam dekapan mimpi yang indah.
Membawakan kita pada satu jalan yang selama ini kita tuju bersama.
Pada ridho yang diridhoi.