SONGKET
Aku kembali pada senja yang tenang. Pada
senja yang akan membawa aku pulang. Menjadikan aku sebagai momen yang tidak
terlalu penting untuk diingat. Aku akan tertidur ketika senja tenggelam, sambil
membiarkan embun yang lembab membasahi genting rumah. Padahal seharusnya aku
tidak terlalu terpaku pada tempat yang cukup absurd ini. Aku masih mengikuti
angin, mengikuti ke mana pun arahnya yang berhembus. Angin yang kuturuti
memiliki dua hasrat. Hasrat satu terlalu pendiam, sementara yang satunya
terlalu kaku. Sekaku diriku. Aku menurunkan hasrat ayahku, kaku. Ibuku yang
pendiam selalu berbicara lewat bola matanya yang bergerak-gerak. Aku hafal
betul isyarat tatapan perempuan separuh baya itu. Mereka adalah anginku, tempat
aku berhembus.
Awalnya aku terlahir sebagai anak dengan
fisik yang cukup sempurna. Namun diusia delapan tahun ibuku melakukan kesalahan
yang fatal. Seharusnya ibu dapat bersabar sedikit saja ketika beliau menyuruhku
untuk menghabiskan susu putih yang telah dibuatnya. Aku tidak terlalu suka
dengan susu itu. Ibu marah besar dan mengatakan untuk mendapatkan tiga sendok
susu belum tentu dapat dibayar dengan jerih payahnya yang susah. Sementara aku
yang hanya tinggal menelan terlalu menolak untuk diajak menikmati hidup enak.
Ibu kalap, lalu menyodorkan gelas yang terdapat sendoknya ke mulutku. Nyaris,
sendok itu mengenai bola mata kiriku. Aku menjerit kuat. Sakit! Sebelah mataku
berdarah lalu sebulan kemudian bola mata kiriku buta total. Bola mata itu tidak
perlu diangkat hingga terlihat menyipit. Sekarang aku hanya mampu melihat
dengan sebelah mata.
Aku terlalu sering mengadu pada angin
pesisir. Aku berhasrat menyelami hidupku sendiri. Terkadang kekuranganku
membuat aku minder dan menjauh dari banyak teman. Di masa SMA ibu bekerja pada
seorang pegawai negeri sipil. Tukang cuci dan tukang setrika baju.
Kadang-kadang ibu mengajak aku ikut ke sana untuk membantu. Ibu tidak peduli
apakah ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan atau tidak yang sifatnya
jauh lebih penting dari pada membantunya mencuci dan menyetrika. Bukan berarti
ibu orang yang tidak pedulian terhadapku, bahkan ibu lebih paham apa yang harus
aku kerjakan agar aku tidak kelaparan malam nanti. Itu saja.
Ayah perajut gedek dari bambu. Dia akan
memulai merajut di sore hari dan akan menjualnya keliling pada pagi sampai
siang. Bambu-bambu itu akan didapat ayah di dekat pesisir. Terkadang ayah harus
membelinya dari seseorang yang sengaja mengambil bambu itu terlebih dahulu dari
ayah. Ayah akan membelinya dengan harga murah. Bila ayah tidak mempunyai uang
untuk membelinya, ayah akan mencarinya sendiri.
Senja ini aku melepas penat. Sebentar
lagi gelap akan datang. Diusiaku yang ke sepuluh tahun lalu ibu memberiku adik
laki-laki. Dia seperti ibu. Pendiam. Dia tidak akan pernah meminta banyak
permintaan sekalipun benar-benar menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Dia duduk
di sampingku, di dekat radio bekas yang pernah dibeli ayah dulu. Radio itu
masih berfungsi. Pada siarannya kami mendengarkan suara adzan maghrib yang
dibawa gelombang radio. Aku sedikit mendekat dan memutar tone volume agar
terdengar pelan.
“Lekas ambil air wudhu. Sebentar lagi
ayah pulang. Kau harus sudah selesai sholat.”
“Kakak sendiri?”
“Kau saja dulu.”
Dia berdiri dan pergi ke pancuran air di
belakang rumah. Namanya Hasan. Menurutku dia adalah anak yang lebih
diistimewakan dariku. Diusianya yang kelima tahun dia sudah
disekolahtamankanakan oleh ibu. Tidak seperti aku. Bahkan diusia enam tahun
genap aku segera disekolahdasarkan oleh ayah. Aku benar-benar dapat membaca
dengan lancar ketika aku naik ke kelas dua. Aku cukup lambat, bahkan kaku.
***
Ketika aku merasa bingung, aku tidak
tahu entah ke arah angin mana aku harus mengikuti hembusannya. Aku akan berlari
ke segala penjuru, membaur pada angin yang tidak tentu tahu apa tujuanku. Saat
pagi-pagi di kala fajar telah menyingsing, seharusnya aku terbangun pada subuh
yang indah. Tapi penyakit ayah kumat. Batuk berdarahnya menakutkanku. Ayah
terlalu sering terkena angin busuk dalam perjalanan kerjanya keliling kampung
ke kampung lain. Dada ayah sudah sesak. Seharusnya ayah istirahat. Ayah sudah
terlalu tua, bahkan rambutnya sudah hampir memutih semua. Ayah menikah diusia
tua bersama ibu. Aku tidak tahu apakah itu suatu kesalahan dalam menjalankan
program hidup atau tidak. Yang aku tahu, aku telah terlahir dari benihnya.
Aku berlari menyusuri tanah lembab bekas
deburan ombak yang membasahi pinggir pantai. Aku menuju rumah mantri yang cukup
jauh dari tempat kami tinggal. Tanpa perintah dari ibu dan ayah aku berlari ke
sana. Batuk ayah sangat memberatkan pikiranku. Ibu sendiri sampai tidak tahu
lagi harus melakukan apa selain memberinya air hangat dalam gelas, air putih
mentah dalam mangkok, dan handuk kecil untuk menutup mulut ayah sambil
mengelus-elus dada ayah.
“Sudah, Yah…. Sudah…!”
Begitulah kudengar suara panik ibu. Mungkin
hanya aku yang paling tidak sanggup menyaksikan kesedihan kedua anginku. Aku
menetapkan pada diriku, sebelum tiba waktu yang paling tidak pernah aku duga,
mereka harus tetap berhembus untukku, untuk Hasan pula. Kami berdua masih
terlalu kecil untuk berdiri sendiri. Bukan itu saja, aku masih butuh kehangatan
pada angin-angin yang berhembus dari mereka. Lalu apa jadinya hidup dalam diriku
bila sesaat aku kehilangan napas itu.
Di depan pintu rumah mantri, kakiku
terpeleset. Saat aku berdiri lututku terasa nyeri. Kudekati pintu yang tertutup
rapat. Pintu itu membisu, sangat membisu. Tidak ada seekor cecak pun yang merayap
di atasnya. Bola lampunya yang remang-remang belum padam. Aku mengetuk
ketakutan.
“Tolong…! Tolong…!”
Tidak ada gerangan bila pintu akan
terbuka. Lalu aku beralih pada daun jendela nako. Aku berusaha membuka celahnya
agar suara teriakku dapat terdengar sampai ke dalam. Seisi rumah masih tetap
terlihat gelap dan terasa sunyi. Mereka mungkin masih terlalu lelap dalam
dengkur yang tenang.
“Tolong…! Bangunlah! Bangun!”
Klik!
Nyala lampu neon kulihat dari sudut
ruangan. Aku memastikan dengan tatapan sebelah mataku agar seseorang kulihat
terbangun dari arah sudut itu. Sialnya lampu yang menyala dipadamkan lagi.
Dadaku sesak. Aku tidak ingin mereka yang di dalam terlelap dalam tidur lagi.
Maka kugedor pintu sekuat mungkin. Aku tidak peduli bila tiba-tiba ada sebuah
kaca nako yang lepas dari engselnya sebab keteledoranku.
“Sabar!”
Sahutan itu membuatku cukup lega. Tapi
aku tidak bisa tinggal diam untuk memastikan bila seorang dari dalam akan
membuka pintu. Aku tetap memastikan bila salah seorang benar-benar terbangun
dan membukakan pintu.
“Siapa?” tanya yang di dalam. Seorang
perempuan kulihat sedang bersarung mukena. Dia mengucir gulung rambut
panjangnya.
“Tolong ayah. Ayah batuk berdarah di
rumah!”
Terdengar anak kunci memutar daunnya.
Aku mundur satu langkah dari daun pintu.
“Kenapa dengan ayahmu?” tanya perempuan
itu setelah kepalanya menyembul dari celah pintu yang dibuka sedikit.
“Batuk ayah berdarah. Tolonglah!”
“Sebentar!” perempuan itu menarik
kepalanya dan menutup pintu dengan rapat. Seharusnya dia paham dengan suasana
hatiku. Aku sangat kacau bila harus dibiarkan seperti ini. Seharusnya pula aku
bisa sabar lebih sediki sebab tidak berapa lama suaminya keluar dengan
tergesa-gesa. Orang-orang kampung memanggilnya dengan sebutan Pak Mantri. Dia
membuka pintu lebar-lebar sementara istrinya menjinjing tas obat.
“Ayo cepat!” laki-laki itu mengambil
sepeda yang bersandar di dinding dalam rumah. Istrinya mengikutinya dan
memberikan tas yang dibawa setelah suaminya berada di luar rumah.
“Ayo naik!” dia menawarkanku pada
boncengan belakang sepedanya. Aku merasa lega saat kedua pasang suami istri ini
menyambut kalutku. Awalnya aku ragu untuk ikut dengannya di belakang boncengan,
tapi setelah kulihat dia mulai memijakkan sebelah kakinya pada pedal sepeda,
aku segera duduk di belakangnya. Pak Mantri mengayuh sepeda disubuh yang masih gelap.
Kayuhannya cukup kencang. Seakan dia benar peduli dengan takutku.
***
Cuma sehari ayah tidak pergi kerja
berkeliling dengan sepedanya. Besoknya sewaktu duha mulai datang ayah pergi
berangkat lagi. Padahal pak mantri menyarankan agar ayah tidak terlalu lelah
untuk beberapa minggu ini. Ayah tidak pernah peduli tentang kesehatannya bila
dia merasa tidak terlalu sakit. Masih ada enam gedek yang belum terjual. Sekali
keliling ayah hanya membawa dua gedek yang akan diletakkan di belakang
boncengan dengan posisi berdiri.
Aku menatapnya dari belakang saat ayah
akan menggoet sepeda. Dari balik pintu dapur kulihat ayah meninggalkan rumah
yang tidak berhalaman. Tubuhnya ringkih, aku yakin sejatinya ayah sudah tidak
mampu membawa gedek itu.
“Lekas ganti baju! Ajak adik kau
sarapan. Awas terlambat ke sekolah.” Ibu menemuiku. Aku hanya mengangguk dan
pergi dari ambang pintu. Kuambil baju seragam sekolah, putih abu-abu, dan jilbab
segiempat. Sekolahku mewajibkan setiap siswi memakai jilbab dengan rapi bagi
yang muslim. Aku memakai seragam di dalam kamar. Setelah itu aku keluar dan menemukan ibu di ruang
tengah memegang satu stel pakain yang terlihat asing.
“Baju apa itu, Mak?” tanyaku. Sekejap
ibu menoleh padaku lalu kembali lagi memperhatikan bajunya.
“Ini kemeja songket,”
“Songket? Kain tenun yang di jual-jual
itu ya, Mak?”
“Iya. Dulu mamak juga pernah bekerja
menenun songket sewaktu kau masih dalam kandungan.”
“Oh, ya?” tanyaku sambil mendekati rak
piring untuk mengambil piring dan sendok.
Ibu melipat kemeja bersongket ungu itu.
“Ini dulu hasil songket buatan mamak.
Kemejanya mamak tempah sendiri. Tapi sekarang sudah tidak cukup lagi dipakai.
Kau mau mencobanya?”
Aku menatap ibu, kulihat dari tatapannya
yang diam mengisyaratkan tanya, sukakah aku bila diberi kemeja bekas itu?
“Nanti aku akan mencobanya, Mak.
Sepulang sekolah.”
Ibu mengangguk pelan dan masuk ke dalam
kamarnya.
***
Angin dari arah pesisir berhembus sampai
ke gedung sekolah. Ada sedikit amis yang mengganggu penciuman. Lebih buruk bila
siang nanti matahari bersinar penat, angin yang bertiup kencang dari arah laut akan
menyucuk sampai ke lendir hidung. Bikin perih dan suka bersin. Aku benci aroma
seperti itu.
Sekolah sudah ramai. Beberapa menit lagi
akan lonceng masuk. Aku segera menuju ke kelas. Sebelumnya kulihat beberapa
teman sekelas tengah mengerubuni mading perpustakaan yang tidak jauh dari kelasku.
Aku mendekati mereka. Sebagian di antaranya bubar sebelum aku mendekat.
Sekarang tinggal seorang teman yang masih tetap berdiri menatap mading.
Ada pengumuman yang mensyaratkan bagi
siswa yang berminat untuk mengikuti lomba. Lomba itu diadakan untuk mengingati
hari kartini di bulan April nanti. Ada puisi, pantun, tari tunggal atau
berpasangan, pidato, dan masih banyak lagi. Aku tidak mengikuti satu di
antaranya. Aku terlalu kaku untuk mengikuti itu. Bila aku menampakkan diri di
depan mereka dan juri, dapat aku pastikan bukan tepuk tangan yang meriah yang
dapat aku terima, malah suara tawa yang mengisyaratkan ketololanku saat tampil.
Kutatap wajah teman perempuan di
sampingku. Wajahnya kusut dan bola matanya berkaca-kaca. Sesaat kemudian
kulihat ada air yang mangalir ke pipinya.
“Kenapa kamu menangis?” tanyaku.
“Padahal selama ini aku sudah sering
latihan nari hanya karena untuk mengikuti lomba.”
“Lalu kenapa kamu bersedih?”
“Apa kamu tidak membaca? Peserta wajib
mengenakan songket untuk mengikuti lomba. Aku mengikuti tari tunggal. Tapi aku
tidak punya songket. Songket itu mahal! Bila uangnya dibelikan buku pelajaran
pasti aku sudah mendapat tiga paket. Mana mungkin ayahku membelikannya!” dia
manarik ingus, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku terpaku dibuat olehnya. Namanya
Wiana. Dia memang sama miskin seperti keluargaku. Tapi dia masih dapat tersenyum
bangga karena dapat menikmati bakat yang ada dalam dirinya. Dia mampu menari dan
berlenggok indah. Aku teringat dengan songket yang ditunjukkan ibu tadi pagi.
Bagai menemukan bintang jatuh aku tersenyum dan meninggalkan halaman mading.
***
“Ini untukmu!”
Sepulang sekolah segera kutemui ibu dan
meminta kemeja songket berlengan panjang itu. Ibu menyuruhku mengambil sendiri
di gerobokan lemari. Besoknya segera kutemui Wiana. Aku berniat meminjamkan
songket itu.
Wiana memegang kemeja yang kuberi. Dia
masih tidak percaya.
“Lalu bagaimana dengan kamu?” tanyanya
dengan cemas.
“Aku tidak akan pernah tampil. Pakai
saja. Songket ini milik mamakku. Belum aku coba sama sekali,”
Wiana menatapku dengan tajam.
“Apa kamu tidak suka?”
“Entahlah. Aku belum pernah memakainya
sama sekali. Pakai saja. Kalau sudah selesai segera pulangkan padaku lagi,”
Wiana tersenyum. Aku membalas dengan
senyum segaris. Kutinggalkan Wiana di dalam kelas.
Kupinjamkan songket itu tanpa haru
kuberi tahu pada ibu. Lagian apa peduli ibu bila kemeja itu telah berpindah
tangan. Toh itu hanya dipakai beberapa hari saja. Setidaknya aku mampu
menciptakan motivasi buat gadis itu.
***
21 April 2010, tepatnya dihari rabu. Anggota
Osis dan para dewan guru mengundang wali siswa. Ada acara pentas seni di
sekolah. Anak-anak kreatif dan berbakat telah merancang semua kegiatan. Dua
hari sebelumnya aku telah memberikan surat undangan pada ibu dan ayah. Tidak
ada jawaban dari mereka untuk ikut atau tidak. Hingga pagi tadi, kulihat ayah
telah bersiap-siap dengan sepedanya. Dia membawa dua gulung gedek di belakang boncengan.
Sehabis menyiapkan sarapan ibu segera pergi ke rumah tetangga, mencuci dan
menyetrika. Itu artinya tidak ada yang pergi di antara mereka.
Acara dilaksanakan di halaman sekolah. Kursi
undangan dan kursi siswa telah dibedakan untuk menonton. Khusus kursi untuk
kepala sekolah, dewan guru dan staf tata usaha diletakkan tepat di depan kursi
siswa. Aku duduk di tengah-tengah. Hampir satu jam panitia keamanan mengatur
tempat duduk untuk para undangan. Sejak kelas sepuluh aku tidak pernah mendapat
giliran sesibuk ini. Aku seperti dianakemaskan mereka agar tidak bekerja. Bukan,
sebenarnya aku terlalu kaku untuk melakukan banyak gerakan. Mereka bisa
menyalahkanku bila aku melakukan kesalahan saat diperintah.
Acara pembagian hadiah untuk para
pemenang diumumkan setelah drama dan tari berpasangan ditampilkan. Acara ini
yang sebenarnya ditunggu oleh para siswa. Satu persatu nama pemenang dipanggil
agar maju ke depan. Ternyata setiap peserta yang mengikuti lomba masih
diwajibkan memakai songket. Hingga akhirnya kudengar juga nama Wiana
terpanggil.
“Pemenang pertama untuk tari tunggal,
jatuh pada Syahputri Wiana!”
Suara tepuk tangan, ramai dan meriah.
Kulihat gadis itu berdiri dengan bangga. Dia memakai songket ungu milik ibu
yang diberi untukku. Dia berdiri sejajar dengan pemenang lainnya. Pemenang
masih dipanggil. Setelah itu acara pemberian hadiah kepada para dewan guru. Kulihat
Wiana mendapat sepucuk amplop dan sebuah piala. Wiana tidak berhenti tersenyum,
tapi aku tidak merasakan apa-apa selain iri.
Para pemenang turun dari atas pentas.
Mereka menemui orangtuanya masing-masing. Masih kulihat Wiana bersama ibu dan
ayahnya. Wiana tertawa lebar dan memamerkan piala pada ayahnya. Dia memang anak
yang patut dibanggakan. Entah kenapa pemandangan itu tidak membuat aku jenuh. Aku
merasa ada di antara mereka.
“Kapan
aku bisa seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan itu terucap dariku untukku.
Sesaat aku tersadar akan siapa diriku
yang sebenarnya.
*** Fs ***