Time

Jumat, 26 Juni 2015

Sarah

Sarah,
Kaulah pucuk yang tak terlihat. Bayang-bayang gelap pada dirimu membuat aku berhasrat ingin mendekat. Kau gerak dalam gelap, diam seakan kau hanya mampu melihat. 

Sarah,
Adakah sedikit saja kulihat indahnya senyummu? Jangan kau belakangi surya, sebab gerhana cukup bulan saja yang menentang cahaya dari segala cahaya di jagad raya. 

Sarah,
Bila mimpi ternyata hanya bisa membungkus segala asa, kejamkah aku bila menganggapmu sebagai pendosanya? Kau gadis diam, tapi kau tak tau bila aku lebih diam mengertikanmu. 

Sarah,
Aku sudahi segala keasaan. Aku cukupkan segala kehasratan. Aku tunaikan segala keinginan. Dari tempat ini aku akan pergi, setelah sudah kupahami dirimu jauh hari yang cukup lama. 

Sarah,
Tak ada mimpi yang jauh lebih indah selain mengenalmu. Duhai perempuan yang bersahabat pada kegelapan, sampaikan salamku pada malam-malam yang penuh ketenangan.

(26062015 - Kamar Gadis)

Selasa, 16 Juni 2015

Gelap

      
Inilah gelap, ketika semua insan mulai merasa tak menemukan lagi bayangannya. Tiada mampu menunjukkan suatu yang dipikirnya menjadi arah dan tujuan. Semua berasa hilang, atau benar-benar telah hilang sama sekali.
Ada tujuan, tapi hitamlah yang hanya mampu menerawang kesunyian. Tak melepas hasrat hingga tercapai semua yang diinginkan. Tak mungkin pula akan kembali, selain hanya bila lentera itu pulalah yang mengembalikan cahaya yang masih tersisa.
Dan inilah gelap besertas seberkas cahaya yang tersisa. Siapa lagi yang mampu menikmati hasraat dalam kesunyiannya? Bila segala telah tercapai, mungkin suatu saat kegelapan yang lain kan hadir dalam sebuah hayati.

Kamis, 11 Juni 2015

Songket

SONGKET


Aku kembali pada senja yang tenang. Pada senja yang akan membawa aku pulang. Menjadikan aku sebagai momen yang tidak terlalu penting untuk diingat. Aku akan tertidur ketika senja tenggelam, sambil membiarkan embun yang lembab membasahi genting rumah. Padahal seharusnya aku tidak terlalu terpaku pada tempat yang cukup absurd ini. Aku masih mengikuti angin, mengikuti ke mana pun arahnya yang berhembus. Angin yang kuturuti memiliki dua hasrat. Hasrat satu terlalu pendiam, sementara yang satunya terlalu kaku. Sekaku diriku. Aku menurunkan hasrat ayahku, kaku. Ibuku yang pendiam selalu berbicara lewat bola matanya yang bergerak-gerak. Aku hafal betul isyarat tatapan perempuan separuh baya itu. Mereka adalah anginku, tempat aku berhembus.
Awalnya aku terlahir sebagai anak dengan fisik yang cukup sempurna. Namun diusia delapan tahun ibuku melakukan kesalahan yang fatal. Seharusnya ibu dapat bersabar sedikit saja ketika beliau menyuruhku untuk menghabiskan susu putih yang telah dibuatnya. Aku tidak terlalu suka dengan susu itu. Ibu marah besar dan mengatakan untuk mendapatkan tiga sendok susu belum tentu dapat dibayar dengan jerih payahnya yang susah. Sementara aku yang hanya tinggal menelan terlalu menolak untuk diajak menikmati hidup enak. Ibu kalap, lalu menyodorkan gelas yang terdapat sendoknya ke mulutku. Nyaris, sendok itu mengenai bola mata kiriku. Aku menjerit kuat. Sakit! Sebelah mataku berdarah lalu sebulan kemudian bola mata kiriku buta total. Bola mata itu tidak perlu diangkat hingga terlihat menyipit. Sekarang aku hanya mampu melihat dengan sebelah mata.
Aku terlalu sering mengadu pada angin pesisir. Aku berhasrat menyelami hidupku sendiri. Terkadang kekuranganku membuat aku minder dan menjauh dari banyak teman. Di masa SMA ibu bekerja pada seorang pegawai negeri sipil. Tukang cuci dan tukang setrika baju. Kadang-kadang ibu mengajak aku ikut ke sana untuk membantu. Ibu tidak peduli apakah ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan atau tidak yang sifatnya jauh lebih penting dari pada membantunya mencuci dan menyetrika. Bukan berarti ibu orang yang tidak pedulian terhadapku, bahkan ibu lebih paham apa yang harus aku kerjakan agar aku tidak kelaparan malam nanti. Itu saja.
Ayah perajut gedek dari bambu. Dia akan memulai merajut di sore hari dan akan menjualnya keliling pada pagi sampai siang. Bambu-bambu itu akan didapat ayah di dekat pesisir. Terkadang ayah harus membelinya dari seseorang yang sengaja mengambil bambu itu terlebih dahulu dari ayah. Ayah akan membelinya dengan harga murah. Bila ayah tidak mempunyai uang untuk membelinya, ayah akan mencarinya sendiri.
Senja ini aku melepas penat. Sebentar lagi gelap akan datang. Diusiaku yang ke sepuluh tahun lalu ibu memberiku adik laki-laki. Dia seperti ibu. Pendiam. Dia tidak akan pernah meminta banyak permintaan sekalipun benar-benar menginginkan sesuatu untuk dimiliki. Dia duduk di sampingku, di dekat radio bekas yang pernah dibeli ayah dulu. Radio itu masih berfungsi. Pada siarannya kami mendengarkan suara adzan maghrib yang dibawa gelombang radio. Aku sedikit mendekat dan memutar tone volume agar terdengar pelan.
“Lekas ambil air wudhu. Sebentar lagi ayah pulang. Kau harus sudah selesai sholat.”
“Kakak sendiri?”
“Kau saja dulu.”
Dia berdiri dan pergi ke pancuran air di belakang rumah. Namanya Hasan. Menurutku dia adalah anak yang lebih diistimewakan dariku. Diusianya yang kelima tahun dia sudah disekolahtamankanakan oleh ibu. Tidak seperti aku. Bahkan diusia enam tahun genap aku segera disekolahdasarkan oleh ayah. Aku benar-benar dapat membaca dengan lancar ketika aku naik ke kelas dua. Aku cukup lambat, bahkan kaku.

***

Ketika aku merasa bingung, aku tidak tahu entah ke arah angin mana aku harus mengikuti hembusannya. Aku akan berlari ke segala penjuru, membaur pada angin yang tidak tentu tahu apa tujuanku. Saat pagi-pagi di kala fajar telah menyingsing, seharusnya aku terbangun pada subuh yang indah. Tapi penyakit ayah kumat. Batuk berdarahnya menakutkanku. Ayah terlalu sering terkena angin busuk dalam perjalanan kerjanya keliling kampung ke kampung lain. Dada ayah sudah sesak. Seharusnya ayah istirahat. Ayah sudah terlalu tua, bahkan rambutnya sudah hampir memutih semua. Ayah menikah diusia tua bersama ibu. Aku tidak tahu apakah itu suatu kesalahan dalam menjalankan program hidup atau tidak. Yang aku tahu, aku telah terlahir dari benihnya.
Aku berlari menyusuri tanah lembab bekas deburan ombak yang membasahi pinggir pantai. Aku menuju rumah mantri yang cukup jauh dari tempat kami tinggal. Tanpa perintah dari ibu dan ayah aku berlari ke sana. Batuk ayah sangat memberatkan pikiranku. Ibu sendiri sampai tidak tahu lagi harus melakukan apa selain memberinya air hangat dalam gelas, air putih mentah dalam mangkok, dan handuk kecil untuk menutup mulut ayah sambil mengelus-elus dada ayah.
“Sudah, Yah…. Sudah…!”
Begitulah kudengar suara panik ibu. Mungkin hanya aku yang paling tidak sanggup menyaksikan kesedihan kedua anginku. Aku menetapkan pada diriku, sebelum tiba waktu yang paling tidak pernah aku duga, mereka harus tetap berhembus untukku, untuk Hasan pula. Kami berdua masih terlalu kecil untuk berdiri sendiri. Bukan itu saja, aku masih butuh kehangatan pada angin-angin yang berhembus dari mereka. Lalu apa jadinya hidup dalam diriku bila sesaat aku kehilangan napas itu.
Di depan pintu rumah mantri, kakiku terpeleset. Saat aku berdiri lututku terasa nyeri. Kudekati pintu yang tertutup rapat. Pintu itu membisu, sangat membisu. Tidak ada seekor cecak pun yang merayap di atasnya. Bola lampunya yang remang-remang belum padam. Aku mengetuk ketakutan.
“Tolong…! Tolong…!”
Tidak ada gerangan bila pintu akan terbuka. Lalu aku beralih pada daun jendela nako. Aku berusaha membuka celahnya agar suara teriakku dapat terdengar sampai ke dalam. Seisi rumah masih tetap terlihat gelap dan terasa sunyi. Mereka mungkin masih terlalu lelap dalam dengkur yang tenang.
“Tolong…! Bangunlah! Bangun!”
Klik!
Nyala lampu neon kulihat dari sudut ruangan. Aku memastikan dengan tatapan sebelah mataku agar seseorang kulihat terbangun dari arah sudut itu. Sialnya lampu yang menyala dipadamkan lagi. Dadaku sesak. Aku tidak ingin mereka yang di dalam terlelap dalam tidur lagi. Maka kugedor pintu sekuat mungkin. Aku tidak peduli bila tiba-tiba ada sebuah kaca nako yang lepas dari engselnya sebab keteledoranku.
“Sabar!”
Sahutan itu membuatku cukup lega. Tapi aku tidak bisa tinggal diam untuk memastikan bila seorang dari dalam akan membuka pintu. Aku tetap memastikan bila salah seorang benar-benar terbangun dan membukakan pintu.
“Siapa?” tanya yang di dalam. Seorang perempuan kulihat sedang bersarung mukena. Dia mengucir gulung rambut panjangnya.
“Tolong ayah. Ayah batuk berdarah di rumah!”
Terdengar anak kunci memutar daunnya. Aku mundur satu langkah dari daun pintu.
“Kenapa dengan ayahmu?” tanya perempuan itu setelah kepalanya menyembul dari celah pintu yang dibuka sedikit.
“Batuk ayah berdarah. Tolonglah!”
“Sebentar!” perempuan itu menarik kepalanya dan menutup pintu dengan rapat. Seharusnya dia paham dengan suasana hatiku. Aku sangat kacau bila harus dibiarkan seperti ini. Seharusnya pula aku bisa sabar lebih sediki sebab tidak berapa lama suaminya keluar dengan tergesa-gesa. Orang-orang kampung memanggilnya dengan sebutan Pak Mantri. Dia membuka pintu lebar-lebar sementara istrinya menjinjing tas obat.
“Ayo cepat!” laki-laki itu mengambil sepeda yang bersandar di dinding dalam rumah. Istrinya mengikutinya dan memberikan tas yang dibawa setelah suaminya berada di luar rumah.
“Ayo naik!” dia menawarkanku pada boncengan belakang sepedanya. Aku merasa lega saat kedua pasang suami istri ini menyambut kalutku. Awalnya aku ragu untuk ikut dengannya di belakang boncengan, tapi setelah kulihat dia mulai memijakkan sebelah kakinya pada pedal sepeda, aku segera duduk di belakangnya. Pak Mantri mengayuh sepeda disubuh yang masih gelap. Kayuhannya cukup kencang. Seakan dia benar peduli dengan takutku.

***

Cuma sehari ayah tidak pergi kerja berkeliling dengan sepedanya. Besoknya sewaktu duha mulai datang ayah pergi berangkat lagi. Padahal pak mantri menyarankan agar ayah tidak terlalu lelah untuk beberapa minggu ini. Ayah tidak pernah peduli tentang kesehatannya bila dia merasa tidak terlalu sakit. Masih ada enam gedek yang belum terjual. Sekali keliling ayah hanya membawa dua gedek yang akan diletakkan di belakang boncengan dengan posisi berdiri.
Aku menatapnya dari belakang saat ayah akan menggoet sepeda. Dari balik pintu dapur kulihat ayah meninggalkan rumah yang tidak berhalaman. Tubuhnya ringkih, aku yakin sejatinya ayah sudah tidak mampu membawa gedek itu.
“Lekas ganti baju! Ajak adik kau sarapan. Awas terlambat ke sekolah.” Ibu menemuiku. Aku hanya mengangguk dan pergi dari ambang pintu. Kuambil baju seragam sekolah, putih abu-abu, dan jilbab segiempat. Sekolahku mewajibkan setiap siswi memakai jilbab dengan rapi bagi yang muslim. Aku memakai seragam di dalam kamar. Setelah  itu aku keluar dan menemukan ibu di ruang tengah memegang satu stel pakain yang terlihat asing.
“Baju apa itu, Mak?” tanyaku. Sekejap ibu menoleh padaku lalu kembali lagi memperhatikan bajunya.
“Ini kemeja songket,”
“Songket? Kain tenun yang di jual-jual itu ya, Mak?”
“Iya. Dulu mamak juga pernah bekerja menenun songket sewaktu kau masih dalam kandungan.”
“Oh, ya?” tanyaku sambil mendekati rak piring untuk mengambil piring dan sendok.
Ibu melipat kemeja bersongket ungu itu.
“Ini dulu hasil songket buatan mamak. Kemejanya mamak tempah sendiri. Tapi sekarang sudah tidak cukup lagi dipakai. Kau mau mencobanya?”
Aku menatap ibu, kulihat dari tatapannya yang diam mengisyaratkan tanya, sukakah aku bila diberi kemeja bekas itu?
“Nanti aku akan mencobanya, Mak. Sepulang sekolah.”
Ibu mengangguk pelan dan masuk ke dalam kamarnya.

***

Angin dari arah pesisir berhembus sampai ke gedung sekolah. Ada sedikit amis yang mengganggu penciuman. Lebih buruk bila siang nanti matahari bersinar penat, angin yang bertiup kencang dari arah laut akan menyucuk sampai ke lendir hidung. Bikin perih dan suka bersin. Aku benci aroma seperti itu.
Sekolah sudah ramai. Beberapa menit lagi akan lonceng masuk. Aku segera menuju ke kelas. Sebelumnya kulihat beberapa teman sekelas tengah mengerubuni mading perpustakaan yang tidak jauh dari kelasku. Aku mendekati mereka. Sebagian di antaranya bubar sebelum aku mendekat. Sekarang tinggal seorang teman yang masih tetap berdiri menatap mading.
Ada pengumuman yang mensyaratkan bagi siswa yang berminat untuk mengikuti lomba. Lomba itu diadakan untuk mengingati hari kartini di bulan April nanti. Ada puisi, pantun, tari tunggal atau berpasangan, pidato, dan masih banyak lagi. Aku tidak mengikuti satu di antaranya. Aku terlalu kaku untuk mengikuti itu. Bila aku menampakkan diri di depan mereka dan juri, dapat aku pastikan bukan tepuk tangan yang meriah yang dapat aku terima, malah suara tawa yang mengisyaratkan ketololanku saat tampil.
Kutatap wajah teman perempuan di sampingku. Wajahnya kusut dan bola matanya berkaca-kaca. Sesaat kemudian kulihat ada air yang mangalir ke pipinya.
“Kenapa kamu menangis?” tanyaku.
“Padahal selama ini aku sudah sering latihan nari hanya karena untuk mengikuti lomba.”
“Lalu kenapa kamu bersedih?”
“Apa kamu tidak membaca? Peserta wajib mengenakan songket untuk mengikuti lomba. Aku mengikuti tari tunggal. Tapi aku tidak punya songket. Songket itu mahal! Bila uangnya dibelikan buku pelajaran pasti aku sudah mendapat tiga paket. Mana mungkin ayahku membelikannya!” dia manarik ingus, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku terpaku dibuat olehnya. Namanya Wiana. Dia memang sama miskin seperti keluargaku. Tapi dia masih dapat tersenyum bangga karena dapat menikmati bakat yang ada dalam dirinya. Dia mampu menari dan berlenggok indah. Aku teringat dengan songket yang ditunjukkan ibu tadi pagi. Bagai menemukan bintang jatuh aku tersenyum dan meninggalkan halaman mading.

***

“Ini untukmu!”
Sepulang sekolah segera kutemui ibu dan meminta kemeja songket berlengan panjang itu. Ibu menyuruhku mengambil sendiri di gerobokan lemari. Besoknya segera kutemui Wiana. Aku berniat meminjamkan songket itu.
Wiana memegang kemeja yang kuberi. Dia masih tidak percaya.
“Lalu bagaimana dengan kamu?” tanyanya dengan cemas.
“Aku tidak akan pernah tampil. Pakai saja. Songket ini milik mamakku. Belum aku coba sama sekali,”
Wiana menatapku dengan tajam.
“Apa kamu tidak suka?”
“Entahlah. Aku belum pernah memakainya sama sekali. Pakai saja. Kalau sudah selesai segera pulangkan padaku lagi,”
Wiana tersenyum. Aku membalas dengan senyum segaris. Kutinggalkan Wiana di dalam kelas.
Kupinjamkan songket itu tanpa haru kuberi tahu pada ibu. Lagian apa peduli ibu bila kemeja itu telah berpindah tangan. Toh itu hanya dipakai beberapa hari saja. Setidaknya aku mampu menciptakan motivasi buat gadis itu.

***

21 April 2010, tepatnya dihari rabu. Anggota Osis dan para dewan guru mengundang wali siswa. Ada acara pentas seni di sekolah. Anak-anak kreatif dan berbakat telah merancang semua kegiatan. Dua hari sebelumnya aku telah memberikan surat undangan pada ibu dan ayah. Tidak ada jawaban dari mereka untuk ikut atau tidak. Hingga pagi tadi, kulihat ayah telah bersiap-siap dengan sepedanya. Dia membawa dua gulung gedek di belakang boncengan. Sehabis menyiapkan sarapan ibu segera pergi ke rumah tetangga, mencuci dan menyetrika. Itu artinya tidak ada yang pergi di antara mereka.
Acara dilaksanakan di halaman sekolah. Kursi undangan dan kursi siswa telah dibedakan untuk menonton. Khusus kursi untuk kepala sekolah, dewan guru dan staf tata usaha diletakkan tepat di depan kursi siswa. Aku duduk di tengah-tengah. Hampir satu jam panitia keamanan mengatur tempat duduk untuk para undangan. Sejak kelas sepuluh aku tidak pernah mendapat giliran sesibuk ini. Aku seperti dianakemaskan mereka agar tidak bekerja. Bukan, sebenarnya aku terlalu kaku untuk melakukan banyak gerakan. Mereka bisa menyalahkanku bila aku melakukan kesalahan saat diperintah.
Acara pembagian hadiah untuk para pemenang diumumkan setelah drama dan tari berpasangan ditampilkan. Acara ini yang sebenarnya ditunggu oleh para siswa. Satu persatu nama pemenang dipanggil agar maju ke depan. Ternyata setiap peserta yang mengikuti lomba masih diwajibkan memakai songket. Hingga akhirnya kudengar juga nama Wiana terpanggil.
“Pemenang pertama untuk tari tunggal, jatuh pada Syahputri Wiana!”
Suara tepuk tangan, ramai dan meriah. Kulihat gadis itu berdiri dengan bangga. Dia memakai songket ungu milik ibu yang diberi untukku. Dia berdiri sejajar dengan pemenang lainnya. Pemenang masih dipanggil. Setelah itu acara pemberian hadiah kepada para dewan guru. Kulihat Wiana mendapat sepucuk amplop dan sebuah piala. Wiana tidak berhenti tersenyum, tapi aku tidak merasakan apa-apa selain iri.
Para pemenang turun dari atas pentas. Mereka menemui orangtuanya masing-masing. Masih kulihat Wiana bersama ibu dan ayahnya. Wiana tertawa lebar dan memamerkan piala pada ayahnya. Dia memang anak yang patut dibanggakan. Entah kenapa pemandangan itu tidak membuat aku jenuh. Aku merasa ada di antara mereka.
 “Kapan aku bisa seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan itu terucap dariku untukku.
Sesaat aku tersadar akan siapa diriku yang sebenarnya.

*** Fs ***