Akulah debu yang diberi mukjizat
lebih oleh Tuhanku untuk menyusup ke segala celah, segala yang tampak atau ke
segala yang tersembunyi. Akulah debu, yang bisa membuat segalanya hancur
menjadi kacau. Kumasuki ruang terlarang saat aku berhasil menyusup angin yang
berhembus pelan atau kencang. Tapi akulah debu, riwayat jelmaan terakhir dari
segala kehidupan atau kematian yang pernah abadi. Akulah sisa terakhir dari
ciptaan Tuhanku yang terabaikan yang selalu dipakai dalam segala kesucian.
Akulah debu, yang selalu ada bersama seutuh nyawa atau separuh nyawa yang masih
bernapas atau terputus napas. Akulah debu, yang selalu memperhatikan
wajah-wajah segala rupa. Yang tidak akan pernah lenyap sedebu pun dari segala
permukaan.
Akulah debu, yang beberapa hari yang
lalu masih dapat menikmati jerit dan tawa kanak-kanak di sebuah gubuk yang
berdiri kokoh,
yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Akulah debu, yang kemarin itu diberi
kesempatan bermain oleh tangan-tangan kecil mereka. Anak-anak itu membentuk sebuah rumah dari pasir yang ada aku
di dalamnya. Mereka membuat sebuah piringan dari daun kering yang juga ada aku
di dalamnya. Mereka berlari, saling mengejar, bertangkap-tangkap,
berlempar-lempar lumpur kering yang ada aku di dalam semuanya. Akulah debu,
yang mencoba menjaga perasaan mereka agar tidak tersakiti sebab aku, sekalipun
ibu-ibu mereka akan datang dengan wajah cemas sebab melihat aku yang sudah
penuh menempel di tubuh dan baju anak-anak mereka. Lalu ibu-ibu itu akan
mengusirku, menyuruhku pergi. Padahal aku hanya ingin bermain, mencoba
menyenangkan perasaan hati anak-anak mereka. Bukan malah menyakiti.
Akulah debu, yang tidak akan pernah
asing dalam sepintas pemikiran pun. Yang sekalipun terabaikan, aku tidak akan
pernah terlepas dari segala aktivitas. Akulah debu, yang beberapa siang yang
lalu sempat singgah di ujung sepatu seorang ibu. Aku melihat perempuan itu
bersama seorang anaknya berbelanja di sebuah mini market. Akulah debu, yang
melihat anak itu menangis sebab menginginkan sepotong cokelat yang tersusun
rapi di sebuah rak jajanan. Anak itu terus memaksa dan merengek pada ibunya
agar dibelikan satu hingga membuat ibunya kesal lalu mencubit pantat anaknya
hingga biram. Akulah debu, yang mengetahui bila perempuan itu tidak akan pernah
mengizinkan bila anaknya harus mencicipi sepotong cokelat pun. Akulah debu,
yang sejatinya tidak tega melihat anaknya menangis sampai dadanya
berguncang-guncang. Aku tahu bila sesungguhnya perempuan itu masih membutuhkan
beberapa belanjaan yang banyak. Sebab anaknya terus menangis, dia lebih memilih
mempercepat waktunya untuk pulang. Akulah debu, yang ditatap sinis oleh
perempuan itu di ujung sepatunya, lalu aku disingkirkan dengan ujung keempat
jarinya hingga aku terbaur dengan angin yang berhembus pelan. Akulah debu, yang
masih dapat melihat anak itu menahan tangis yang ingin terus berguncah berjalan
di samping ibunya.
Akulah debu, yang sempat ikut
berpartisipasi bersama beribu mahasiswa di depan gedung DPR. Mereka memegang
spanduk dan papan-papan pemberontakan. Akulah debu, yang juga akan ikut
bergerak kencang disaat sekelilingku merasakan perasaan yang menggebu-gebu. Aku
juga ikut berteriak saat beribu mahasiswa itu berteriak agar harga BBM
diturunkan, bukan malah harus dinaikkan! Akulah debu, yang tanpa mereka sadari
berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh mereka lewat lobang mulut, lobang
hidung, dan lobang mata mereka yang bercelah. Maka di dalam tubuh mereka aku semakin
membakar perasaan, agar mereka terus menjerit dan berteriak. Aku mengintip dari
dalam lensa mata gemuruh yang membahana di depan gedung DPR. Aku juga melihat
beribu polisi dengan beribu tameng mereka untuk menentramkan beribu demon dari
beribu mahasiswa.
Akulah debu, yang tidak terhiraukan
dan tidak mungkin dapat dihentikan dalam aksi membosankan ini. Akulah debu,
yang tidak sengaja melihat seorang pemuda yang disikut, dihajar, dilibas oleh
beberapa polisi yang sudah habis kesabarannya untuk menenangkan mereka. Kudengar
bisik-bisik mereka bila pemuda itu mencoba masuk ke dalam gedung dan mencoba
menghancurkan gerbang besi yang berdiri kokoh bersama sekawanannya. Akulah juga
sebagai saksi sejarah setiap tahun ini yang selalu dituliskan dalam beribu
artikel anak Indonesia atau setumpuk naskah yang akan disiarkan dalam siaran
berita televisi atau radio. Akulah debu, yang tiba-tiba melihat beribu kawanan
demonstrasi ini ikut menyerang, menyerbu, membela teman mereka yang dihajar
oleh polisi.
Akulah debu, yang tiba-tiba
membenci aksi ini, yang tidak tahu lagi entah siapa yang harus aku bela di
antara dua pihak. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat mengerikan bila aku
sudah marah sebab benci. Kemudian kupanggil angin agar bertiup kencang. Aku
berbaur dengan angin dan memerintahkan
angin agar menghembuskanku ke mata dan hidung mereka dengan kejam, agar mereka
benar-benar berhenti dan diam. Akulah debu, yang merasa cukup puas ketika
mereka mencoba lari menyelamatkan diri dari amarahku.
Akulah debu, yang tiba-tiba angin
membawaku pada suatu ruangan pengadilan yang penuh di dalamnya orang-orang. Aku
melihat seorang hakim duduk dengan wibawa sebab pakaian toga kebesaran yang
dikenakannya. Lalu aku meminta pada angin agar aku dibawa saja ke mulut
microfon di depan hakim, biar aku dapat tahu dengan jelas apa yang tengah
terjadi. Akulah debu, yang melihat di tengah ruangan seorang tersangka yang
kabarnya akan divonis sekarang juga. Dalam diam akhirnya dapat kuperoleh
informasi, bila tersangka telah mencabuli seorang anak gadis hingga hamil. Ada
sirat risau saat kutatap bola mata tersangka yang gelisah itu.
Akulah debu, yang sesekali kulihat
bola mata sang hakim di balik kaca matanya. Kulihat dia ingin marah besar sebab
perlakuan zina. Kemudian kutatap satu persatu bola mata pada hadirin yang hadir
dalam ruang pengadilan ini. Akulah debu, yang tidak asing lagi dengan kabar
pencabulan atau asusila seperti ini. Akulah debu, yang hampir setiap malam
menyaksikan gerakan pasangan muda mudi menikmati malam-malam terlarang mereka
sampai subuh. Akulah debu, yang tiba-tiba membuat microfon menjadi mati saat
hakim mencoba memutuskan vonis. Akulah debu, yang pada akhirnya membuat hakim
sampai jengkel melihat aku yang menempel di mulut microfonnya, lalu hakim itu
menghembusku sampai aku terjatuh dan terdengar suara gemuruh dari toak.
Akulah debu, yang pernah dibawa
berkelana oleh angin pada sebuah telaga kecil, yang terdapat air tenang di dalamnya. Kulihat
sepasang insan muda duduk di sebuah
pohon yang cukup rimbun. Aku melihat mereka duduk saling berjauhan dan saling
membisu. Akulah debu, yang hampir tidak bisa membaca pikiran dan hati mereka
sebab mereka terlalu membisu. Lalu kupilih menjatuhkan diriku ke atas paha sang
gadis yang dilapisi oleh rok panjangnya hingga ke mata kakinya. Aku terkejut ketika
melihat sang gadis menitikkan air matanya hingga terjatuh di atas pahanya yang membuat
aku hampir basah oleh air mata. Kulihat sang lelaki ingin mendekati gadisnya,
tapi sang gadis menyuruhnya untuk pergi dan tidak sudi bila dia disentuh
olehnya.
Akulah debu, yang mendengar maaf
beribu maaf dari sang lelaki untuk gadisnya. Dia menyesali semua perbuatannya.
Entah perbuatan apa, aku tidak tahu. Aku mendengar sang gadis berkata sekali
lagi agar lelaki itu pergi darinya, dan lelaki itu benar-benar pergi setelah
menyatakan masih cinta pada gadisnya. Akulah debu, yang pada akhirnya basah oleh
air mata sang gadis yang terus bercucuran. Sejatinya diriku tidak tega melihat
air matanya terus berlinang. Kucoba untuk menghiburnya, tapi aku gagal. Air
matanya semakin menderas
sampai dadanya berguncah. Akulah debu, yang pada air matanya terjatuh dari
pangkuannya sampai kepada air telaga. Akulah debu, yang bukan pada kemauanku
pergi meninggalkannya, membiarkannya menangis seorang diri.
Akulah debu, yang apabila datang
malam beranjak tua, maka aku panggil angin yang penuh persahabatan untuk
membawa aku berkeliling menemui orang-orang yang telah aku temui sebelum
matahari terbenam. Aku masuk ke dalam sebuah kamar lewat lobang ventilasi. Dari
dalam kamar dapat kurasakan betapa
nikmatnya tidur si anak yang tadi siangnya pernah bermain bersamaku berlempar-lempar
lumpur kering. Akulah debu, yang menatap wajahnya penuh sungguh. Wajah yang
begitu arif, terkesan tenang, lelah, dan menyenangkan. Pelan-pelan aku masuk ke
dalam kamar ibunya. Akulah debu, yang dapat melihat wajah yang terlelap tidur.
Akulah debu, yang dapat menilai wajah itu yang jauh sangat berbeda saat wajah
itu menatap cemas padaku saat aku ikut bermain dengan anaknya. Wajah itu
sungguh sangat tenang.
Akulah debu, yang kemudian dengan
ketenanganku beralih ke rumah seorang anak yang pernah meminta sepotong cokelat
kepada ibunya. Aku masih menaruh rasa iba kepada wajahnya yang terlelap tenang.
Lalu kupanggil angin agar aku dibawa kepada seorang ibu yang mencubit pantat
anaknya yang tengah terbaring di sebuah bilik yang teduh. Akulah debu, yang pada
wajah perempuan itu dapat melihat ketenangan yang sama.
Akulah debu, yang masih ingin
bermain dari subuh
ke subuh. Mencoba berhembus
sendiri masuk ke dalam kamar beribu mahasiswa, beribu polisi, seorang hakim,
seorang tersangka, dan sepasang kekasih. Akulah debu, yang tanpa sepengetahuan
mereka asyik menatap wajah lelah mereka yang tenang. Akulah debu, yang lebih
mencintai ketenangan ini dari pada huru hara, hingga aku selalu mengajak angin
agar berhembus sepoi biar pemilik-pemilik nyawa itu tertidur lelap dan sangat
tenang. Akulah debu, yang dapat menilai wajah-wajah mereka lewat aura mereka
disaat mereka tertidur. Akulah debu, yang sesungguhnya sangat tahu, bila insan
yang bernyawa itu sesungguhnya sangat arif. Dapat aku nilai dari garis wajah
mereka disaat mereka tertidur pula. Akulah debu, yang sangat mengetahui titik
kelemahan insan disaat mereka tersadar dan tertidur.
Akulah debu, yang sebelum malam
menjelma menjadi subuh akan pergi berlalu dari kamar-kamar tidur mereka. Akulah
debu, yang tidak akan pernah luput dari gerak mereka, yang selalu ada untuk
bersama mereka sekalipun mereka tidak membutuhkanku.
Akulah debu, yang selalu merindu subuh
hingga subuh kembali.
Kamar Gadis,
01 Agustus 2012